Jogja Antique

Saturday, November 1, 2008

Kredit Usaha Rakyat vs Kupedes

Di suatu malam, penulis sedang menonton televisi yang menayangkan Presiden Republik Indonesia meluncurkan Kredit Usaha Rakyat (KUR) Bank Rakyat Indonesia. Acara itu sebagai tanda keseriusan beliau berpihak kepada Usaha Kecil Menengah (UKM). 
Seperti biasa, pada acara peluncuran seperti itu, banyak basa-basi protokoler dan acara hiburan. Dia perlihatkan di layar kaca para hadirin dengan baju batik serbabaru, dan mereka-mereka, rakyat kecil yang telah kecipratan fasilitas kredit baru ini. Tentulah ada sorak-sorai yang gegap gempita.
Penulis berharap di dalam pelaksanaannya nanti, KUR ini akan sampai kepada sasaran yang dituju, tepat waktu, dan tepat jumlah. Tepat waktu, maksudnya kredit datang pada saat “pengusaha rakyat” itu sangat memerlukannya. 
Sering terjadi pada saat panen raya, misalnya, produk cabai dan bawang di Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Brebes, karena petani penghasil kedua barang itu tidak ada uang untuk membayar upah pemetik, produknya dibiarkan busuk begitu saja.
Demikian juga di Kabupaten Curup di Bengkulu, pada saat panen raya kopi, petani membiarkan saja kopi mereka membusuk, karena tidak ada uang untuk membayar upah pemetiknya. Pada saat itu, biasanya harga produk jatuh. 
Ada kelemahan dari suatu kegiatan menolong usaha rakyat melalui jalur perbankan, yakni harus mengikuti tata cara perbankan dunia. Ini adalah suatu keharusan, karena kita sudah ikut aturan perbankan dunia yang diatur oleh perjanjian Basel II. 
Akibatnya, terjadi banyak keterbatasan. Seperti diketahui, bagi pengusaha rakyat, sulit memenuhi tetek-bengek peraturan bank yang pruden. Solusinya, pemerintah barangkali harus membentuk Lembaga
Pembiayaan Usaha Rakyat yang berada di luar ranah sistem perbankan. Jadi, bukan lagi kredit usaha rakyat, tetapi berubah menjadi PT Usaha Rakyat, milik pemerintah yang kegiatannya seratus persen membantu usaha rakyat.
Kredit Umum Pedesaan yang disingkat menjadi Kupedes, dulu tidak diluncurkan oleh Presiden Republik Indonesia, melainkan dimulai dari satu BRI unit desa, yang kemudian ternyata sukses. 
Maka barulah ada kredit duplikasi pada beberapa unit desa yang lain, yang akhirnya dijalankanlah Kupedesnya untuk seluruh BRI unit desa di Indonesia, di awal tahun 1980-an. Akibat dari adanya Kupedes ini, banyak sekali “pengusaha rakyat” di desa yang terbantu. 
BRI unit desa juga berubah. Semenjak berdirinya, BRI selalu saja sebagai sumber kerugian (loss center). Namun, semenjak Kupedes itu dijalankan, BRI unit desa berubah menjadi sumber keuntungan (profit center). Pada kenyataannya keuntungan BRI sebagian besar adalah akibat beroperasinya Kupedes ini.
Jadi sangat kontras sekali dengan KUR yang diluncurkan dengan acara yang meriah. Kupedes itu dulu tanpa peluncuran, langsung jalan saja. Kata semboyan anak-anak gaul, “Just do it alias kerjakan saja!” 
Penulis lalu tertegun, kapanlah kita berani mengakhiri budaya mengadakan acara peluncuran serbameriah yang tidak memberikan bantuan cukup berarti kepada rakyat? 

Penulis adalah mantan ketua ISEI.

BERITA KOMPAS