Jogja Antique

Saturday, January 16, 2010

Belajar Basket dan Pengembangan Olahraga di Perth, Australia (3-Habis)




Sudah Persiapkan Atlet Muda untuk Olimpiade 2016

Partisipasi, infrastruktur, organisasi. Tiga faktor itu mungkin sudah cukup untuk meraih sukses olahraga. Di Australia, ada faktor keempat yang sangat diseriusi: Sports science. Berikut catatan AZRUL ANANDA dari Perth.

Pengembangan olahraga Australia sebenarnya melalui jalur "normal" kebanyakan negara, yaitu lewat klub. Beda dengan Amerika Serikat, yang menggunakan sistem sekolah.

Meski demikian, bukan berarti sekolah tidak bisa men-serius-i olahraga tertentu, seperti basket. Ada beberapa sekolah menengah di Perth, Negara Bagian Western, Australia, yang punya program basket sangat serius. Dua di antaranya adalah Woodvale dan Willetton.

Dua sekolah itu menjadi partner latihan dan pertandingan tim All-Star DetEksi Basketball League (DBL) Indonesia, tim anak-anak SMA pilihan liga basket pelajar terbesar di Indonesia, yang selama seminggu terakhir berada di Perth untuk mengikuti program DBL Western Australia Games 2008.

Misi utama DBL ke Perth memang bukan untuk bertanding. Yang paling penting adalah belajar dan belajar. Para pemain dan pelatih mendapatkan ilmu dan pelatihan cara Australia, sedangkan DBL mendapatkan pelajaran tentang pengelolaan organisasi basket.

Karena Australia menganut jalur klub, sedangkan DBL menggunakan sistem antarsekolah, sejenak mungkin program ini tidak nyambung. Tapi, sebenarnya di Perth program klub dan sekolah itu komplementer.

Ambil contoh di Willetton Senior High School, sekolah juara basket di Perth. Meski program basketnya serius, total latihan yang diberikan kepada siswa hanya lima jam seminggu sebagai pengganti kelas olahraga dan kesehatan. Itu pun yang satu jam bisa disisihkan untuk olahraga lain agar ada variasi latihan.

Anak-anak yang berminat basket boleh bergabung, dengan catatan memenuhi persyaratan akademis dan punya skill atau bakat mumpuni. Mereka harus ikut try out dan wawancara sebelum diterima ikut program.

"Sebenarnya, tidak ada nilai minimum. Kalau dia anak yang nilai maksimalnya C, ya dia harus mampu menjaga nilai itu. Kalau dia nilainya A, yang tidak boleh jatuh terlalu jauh," jelas Michael Forsyth, salah seorang pelatih basket Willetton.

Forsyth yang sudah 19 tahun melatih di Willetton menuturkan pernah menolak anak masuk program meski punya bakat basket. Sebab, performa anak itu di sekolah tidak memenuhi persyaratan. "Kami tidak menolaknya begitu saja. Kami memberi dia waktu satu masa ajaran. Kalau dia bisa memperbaiki performa akademis, kami akan mewawancarainya lagi," terangnya.

Program SMA Willetton itu beriringan dengan Willetton Basketball Association, klub yang punya julukan Tigers. Jadi, anak-anak itu mendapatkan latihan dari dua sisi, dari sekolah maupun klub. Keduanya pun saling mengisi. Kadang ikut kompetisi junior (berbagai tingkat umur), kadang ikut kompetisi antarsekolah. Tapi, masing-masing tidak boleh saling mengganggu.

Forsyth mengungkapkan, pernah ada anak Willetton yang terpilih untuk masuk tim negara bagian. Karena telah mendapatkan porsi latihan berlebih, anak itu dilarang latihan bersama teman-teman sekolah. Supaya tidak overtraining.

"Dianya ngotot ingin latihan. Tapi, kami memaksanya untuk istirahat," tegas Forsyth.

Sang pelatih sebenarnya mengaku iri pada cara Amerika Serikat, bahkan cara DBL di Indonesia. Secara pribadi, dia lebih suka sistem sekolah. "Kalau seperti di AS, pekerjaan saya akan terasa lebih berarti," ucapnya.

***

Mana yang lebih baik: Jalur sekolah atau jalur klub? Dua jalur itu tentu sama-sama punya keunggulan dan kekurangan. Australia sukses menggunakan sistem klub dan sistem sekolahnya tidak mengganggu.

Saya pribadi, mungkin karena dapat didikan AS, lebih suka sistem sekolah untuk Indonesia. Bukan semata-mata untuk ikut AS, tapi karena saya merasa Indonesia punya situasi yang lebih cocok untuk itu.

Indonesia ini begitu luas. Penduduknya pun begitu banyak. Kalau lewat sekolah, kita bisa mendapatkan partisipan lebih banyak. Total anggota klub basket di Indonesia boleh ribuan, tapi jumlah anak sekolah itu jutaan. Siapa tahu sekarang ada Michael Jordan Indonesia, tapi kemampuannya tidak akan pernah ketahuan karena tidak punya akses ke klub.

Belum lagi soal pendanaan. Sekolah, menurut saya, akan lebih mudah untuk mendapatkan sumber dana. Sekolah memberikan image "Peduli Edukasi" bagi sponsor. Sebagai timbal balik, sekolah punya banyak pendukung. Entah itu siswa-siswa, orang tua, atau alumni. Keramaian dan kepastian dukungan itu tentu memudahkan sekolah "me-marketing-kan" diri. Kalau sekolah itu punya seribu siswa, sponsor pun meng-ekspose-kan diri di hadapan minimal seribu orang.

Kalau mensponsori klub? Paling dapat puluhan atau ratusan anggota. Kalau ada pertandingan, penonton juga belum tentu seribu orang.

Sekarang, kecenderungan sponsor ini sudah terjadi di Indonesia. Kompetisi-kompetisi antarsekolah (seperti DBL) seolah lebih mudah mendapatkan dukungan sponsor daripada kejuaraan antarklub.

Kalau sudah begitu, kekuatan ekonomi itulah yang kelak mungkin membelokkan sistem anutan, jalur klub atau sekolah. Tapi, andai itu terjadi, harus ada yang membuat keputusan mau ikut sistem mana. Dan harus tegas. Kalau masyarakat (dan sumber dana) bilang jalur sekolah, maka harus ada yang mengambil sikap demikian pula.

"Di negara-negara Asia, biasanya yang seperti ini memang bermasalah. Kalau mengendarai mobil, ada satu departemen yang pegang setir, departemen lain tekan pedal gas, lalu departemen lain lagi tekan pedal rem," kata Hallam Pereira, international project director Departemen Olahraga dan Rekreasi Western Australia.

***

Partisipasi, infrastruktur, dan organisasi saja sudah sulit untuk kompak. Di Australia, ada satu hal yang menjadi faktor penting dalam mencapai prestasi olahraga tingkat dunia. Yaitu sports science. Kata Pereira, sports science adalah "icing on the cake". Pelapis manis yang membuat kue makin lezat.

Pria asal Sri Lanka itu dulu mendapatkan gelar PhD dalam bidang sports science. Dia lantas memberikan contoh bukti betapa bergunanya hal tersebut. Yaitu tim hoki Australia yang meraih medali emas di Olimpiade 1996 di Atlanta, AS.

Olimpiade itu diselenggarakan pada musim panas. Dan panas sekali. Tim Australia sebenarnya punya dua warna seragam, hijau gelap dan kuning (emas). Ketika berlatih di AS, ternyata didapati bahwa ketika bertanding memakai kostum hijau gelap, suhu tubuh pemain naik 1,1 derajat Celsius.

Australia pun memutuskan untuk langsung ganti kostum. Menjadi putih dan kuning terang supaya para pemain bisa bermain dalam kondisi lebih dingin.

Sports science lantas berguna untuk menentukan strategi. Pada awal pertandingan, tim Australia diminta untuk sengaja tidak mencetak gol. Bahkan, kalau mengumpankan bola, mereka sengaja diminta untuk selalu memukul menjauh dari orang yang akan diumpan.

Tujuannya? Ketika mengumpan menjauh dari teman, pemain lawan yang menjaga sang teman harus berlari lebih cepat dan lebih jauh kalau ingin merebut bola. Misalnya, sang teman harus berlari tiga langkah untuk mencapai bola yang diumpankan. Kalau begitu, pemain lawan harus berlari lima langkah (dan lari lebih cepat) kalau ingin merebutnya.

Strategi itu berhasil. Di tempat yang sangat panas, tim hoki Australia mampu membuat lawan-lawannya lelah lebih cepat. Akibatnya, di babak akhir pertandingan, Australia bisa merajalela dan kemudian merebut medali emas.

Sports science pula yang membuat Australia punya cara latihan berbeda. Menurut Pereira, atlet Australia mampu sukses meski menjalani latihan kelenturan delapan persen lebih sedikit daripada negara maju lain.

Alasannya: Buat apa latihan kelenturan kalau orang pasti punya batas maksimalnya. Makin tua, kelenturan orang pasti akan berkurang. Mau diberi latihan apa pun tidak akan bertambah maksimal. "Bayi itu kelenturannya maksimal. Orang yang sangat tua kelenturannya minimal," tandas Pereira.

Daripada menghabiskan waktu melatih sesuatu yang tidak bisa di-improve, lebih baik menggunakan waktu itu untuk mengembangkan kemampuan lain.

***

Sports science kini terus dikembangkan di Australia. Di Perth ada dua universitas yang punya program kelas dunia di bidang tersebut. University of Western Australia (UWA) dan Edith Cowan University (ECU).

Saya dan tim All-Star DBL Indonesia diajak mengunjungi dua kampus itu untuk melihat fakultas sports science masing-masing.

Alangkah mengagumkannya. Di dua kampus itu terdapat berbagai macam laboratorium untuk mempelajari dan meng-improve performa atlet. Ada ruang bio mechanic yang menggunakan sederet kamera high-speed untuk merekam dan menganalisis gerakan atlet, lalu menemukan cara untuk meningkatkan performa atau memperbaiki kekurangan atlet tersebut.

Salah satu fasilitas keren pada kedua kampus itu adalah climate chamber, ruang yang bisa diubah-ubah "iklim"-nya untuk mempersiapkan seorang atlet berlatih di negara tujuan.

"Misalnya kalau Olimpiade 2016 diputuskan untuk diselenggarakan di Jakarta. Maka, kami akan langsung mengirim tim ke Jakarta untuk mengukur suhu, karakter udara, dan lain sebagainya," jelas Pereira. "Atlet kami lantas dimasukkan dalam climate chamber, yang men-simulasi-kan situasi di Jakarta. Dari simulasi itu, kami kemudian menentukan porsi latihan yang harus dia jalani, jenis makanan apa yang harus dikonsumsi, dan lain-lain," lanjutnya.

Kalau itu atlet renang, tambah Pereira, maka dia akan diberi tempat berlatih yang kondisi airnya dibuat mirip dengan di Jakarta.

Karena keputusan lokasi Olimpiade sudah diberikan bertahun-tahun sebelumnya, sang atlet pun lantas bisa bertahun-tahun menyiapkan diri sesuai dengan kondisi di negara yang akan dituju. Para atlet tuan rumah pun bisa dibilang kehilangan sebagian keunggulan main di kandang.

***

Di mana Olimpiade 2016 bakal diselenggarakan, sekarang masih belum diputuskan. Bisa di Chicago, Illinois, AS, bisa di kota lain di negara lain. Tapi, di mana pun lokasinya, Australia sudah siap untuk mempertahankan prestasi, bahkan mungkin memperbaikinya.

Pereira mengungkapkan, Australia sudah menyiapkan anak-anak umur 12 tahun yang kelak menjadi atlet nasional di Olimpiade 2016. Mereka sudah diidentifikasi sejak dini dan diberi porsi latihan sesuai dengan pertumbuhan masing-masing. Dengan bantuan sports science, perkembangan mereka bakal sangat terukur.

Mendengar itu, saya hanya bisa geleng-geleng kepala. Untuk mengalahkan itu, Indonesia mungkin butuh waktu lebih dari sepuluh tahun. Untuk menata organisasi, membangun infrastruktur, dan meningkatkan partisipasi olahraga secara nasional saja tidak cukup lima tahun. Dari situ didapat atlet-atlet sangat muda, yang kemudian butuh minimal lima tahun lagi untuk "jadi" dengan bantuan sports science.

Itu pun kalau ada yang mengambil keputusan untuk dimulai SEKARANG.... (habis)

BERITA KOMPAS