Warga Hanya Sumbang Tiga Jam Kerja dalam Setahun
Penduduk Australia hanya 20 juta jiwa. Dari jumlah kecil itu, sangat banyak prestasi dunia olahraga dicapai. Kuncinya mungkin adalah kerelaan jutaan warga untuk menyumbangkan jam kerja. Meski hanya tiga jam setahun. Berikut catatan AZRUL ANANDA, wakil direktur Jawa Pos, dari Perth.
---
''Memasyarakatkan olahraga, mengolahragakan masyarakat.''
Kita-kita yang hidup dan sekolah pada zaman Orde Baru tentu ingat ungkapan tersebut. Hasilnya? Tidak perlu banyak comment. Kita tahu sama tahu saja, biarkan jawabannya menjadi rahasia umum.
Meski demikian, tidak berarti ungkapan itu tidak bisa menjadi kenyataan. Untuk mendapatkan buktinya, kita tak perlu belajar sampai negeri Tiongkok. Cukup terbang sekitar empat jam dari Jakarta, mendarat di Perth, Australia.
Dari ibu kota negara bagian Western Australia tersebut, kita bisa mendapat secuil informasi bagaimana negara seperti Australia bisa ''memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat''. Hasilnya bukan sekadar sumber daya manusia yang unggul, tapi juga prestasi olahraga yang bikin geleng-geleng kepala.
Bayangkan. Dengan penduduk hanya 20 juta orang, dalam hal olahraga, Australia mampu bersaing dengan negara-negara maju lain yang berpenduduk hingga sepuluh kali lebih banyak.
Pada Olimpiade 2008 di Beijing, Agustus lalu, Australia berada di urutan keenam perolehan medali. Total meraup 46 medali, termasuk 14 emas. Semua negara di atasnya punya penduduk sedikitnya tiga kali lebih besar!
Tidak perlu diingatkan, he he, bahwa penduduk Indonesia lebih dari 200 juta jiwa dan Agustus lalu hanya membawa pulang satu medali emas di urutan ke-42.
Atlet Western Australia (WA) sendiri menyumbangkan tiga medali emas untuk Australia. Andai negara bagian itu tampil terpisah di Olimpiade Beijing, mereka bakal berada di urutan ke-17. Padahal, penduduk WA hanya 2 juta jiwa.
***
Selama seminggu terakhir di Perth, saya dan teman-teman dari DetEksi Basketball League (DBL), liga basket pelajar terbesar di Indonesia, telah belajar begitu banyak. Bukan hanya tentang sistem basket, pembinaan dan pengembangannya, juga tentang olahraga secara keseluruhan.
Sampai Minggu besok (19/10), DBL membawa 24 pemain SMA (12 putra dan 12 putri) dari sepuluh provinsi di Indonesia plus empat pelatih. Bekerja sama dengan pemerintah Australia (khususnya WA), tim SMA ini mengikuti program DBL Western Australia Games 2008.
Selain bertanding melawan tim-tim muda pilihan WA, pasukan All-Star DBL Indonesia juga belajar banyak tentang basket dari Basketball WA (semacam Perbasi-nya WA), SMA-SMA basket utama di Perth, plus klub profesional di kota itu, Perth Wildcats dari National Basketball League (NBL).
Tim All-Star DBL Indonesia juga mendapatkan kelas dan tambahan wawasan dari Departemen Olahraga dan Rekreasi WA. Tidak ketinggalan, mengunjungi University of Western Australia dan Edith Cowan University, dua kampus besar di Perth. Di sana, seluruh tim diajak menengok fasilitas jurusan Sports Science, yang termasuk paling top di dunia.
Sebelum bicara soal basket secara lebih spesifik, dari departemen olahraga dan rekreasi-lah kami mendapat ''pencerahan'', bagaimana prestasi olahraga bisa menjadi begitu dahsyat di Negeri Kanguru.
Bila dirangkum, pada dasarnya ada empat hal yang menjadikan olahraga Australia begitu dahsyat: partisipasi, infrastruktur, organisasi, dan terakhir sports science.
Sekilas tidak istimewa. Di atas kertas mungkin semua bisa meniru. Tapi, kalau dipahami, Indonesia -dan kebanyakan negara lain, termasuk yang maju- mungkin butuh minimal sepuluh tahun untuk mengikuti. Itu pun kalau ada political will dan support penuh masyarakat.
Partisipasi merupakan peran utama masyarakat. Tugas utama departemen olahraga dan rekreasi bukan hanya mengejar prestasi tingkat dunia, tapi juga merangsang seluruh masyarakatnya untuk berpartisipasi dalam kegiatan olahraga. Tidak harus jadi atlet, namun ada kontribusinya. Tidak harus dengan uang, tapi ada bentuk nyatanya.
''Kalau jalan-jalan di Australia, coba perhatikan, pasti banyak orang terlibat dalam kegiatan olahraga. Bisa jalan-jalan di taman, joging, bersepeda, dan lain sebagainya,'' kata Hallam Pereira, international project director Departemen Olahraga dan Rekreasi WA, yang selama seminggu ini sering menemani tim DBL All-Star Indonesia.
Memang, di mana-mana orang berolahraga di Australia. Saat di Perth saja, di mana-mana ada orang joging, bersepeda, dan mendayung di Swan River. Saat berlatih basket di sejumlah arena di Perth, tim All-Star DBL Indonesia juga bertemu sejumlah warga lanjut usia sedang berlatih bulu tangkis.
''Di antara 20 juta penduduk Australia, 87 persen berpartisipasi dalam olahraga. Yang 13 persen sisanya itu terdiri atas bayi atau orang-orang yang sudah sangat tua,'' jelasnya.
Pria asal Sri Lanka itu termasuk salah satu sosok utama di departemennya. Dulu dia atlet renang, pernah ikut Olimpiade 1964. Setelah jadi atlet, dia belajar dan belajar, hingga akhirnya mendapat gelar PhD dalam hal sports science dari (waktu itu) Jerman Timur. Baru kemudian pindah ke Australia, mengembangkan olahraga di departemen olahraga dan rekreasi.
Pereira menegaskan, partisipasi tidak harus bermain olahraga. Yang penting adalah terlibat dalam kegiatan olahraga. Dan dalam hal partisipasi itu, Australia mungkin tak ada bandingannya di dunia, salah satu kunci sukses mengejar prestasi dunia.
***
Saat ini, 1,5 juta warga Australia tercatat di departemen olahraga dan rekreasi sebagai volunteer (relawan). Mereka itu selalu menyumbangkan waktunya untuk membantu olahraga. Ada yang tidak terlalu sibuk, sehingga menyumbangkan waktu hingga tiga jam seminggu (biasanya saat weekend). Ada juga yang supersibuk, sehingga hanya menyumbangkan waktu TIGA JAM selama SETAHUN.
Cara menyumbangkan waktu? Yaitu dengan bekerja membantu kegiatan-kegiatan olahraga. ''Ada seorang ibu yang tidak bisa olahraga apa pun. Dia hanya mengerti aturan dan ukuran landasan lompat jauh. Maka, dia pun menyumbangkan waktu dan tenaganya untuk membantu penyelenggaraan even lompat jauh,'' papar Pereira.
Contoh lain dari Pereira: Seorang ayah punya anak yang tampil di liga sepak bola. Dia pun menyumbangkan tenaga dan biaya untuk mencucikan baju tim setelah latihan, sekali setiap minggu. Hari lain digantikan oleh orang tua atau relawan lain.
Contoh lebih ekstrem diberikan Pereira saat dia mengantarkan seorang pejabat olahraga Malaysia menonton even olahraga di Perth. Setelah menunjukkan tiket, mereka diantar oleh seorang relawan pria bercelana pendek ke tempat duduk sesuai yang tertulis di tiket.
Ketika diajak ngobrol, ternyata sang usher (pengantar penonton) itu begitu ''nyambung''. Sang pejabat yang berlatar belakang pengacara tersebut terus memberi pertanyaan sulit, dan sang relawan terus mampu menjawabnya. Akhirnya, pejabat Malaysia itu harus bertanya: ''Sebenarnya Anda ini siapa?''
Alangkah kagumnya dia ketika mendapat jawaban bahwa sang pengantar penonton itu adalah chairman dari Qantas Airlines! Hari itu, dia kebetulan memang sedang menyumbangkan waktunya untuk olahraga, sebagai bagian dari panitia pertandingan.
Sekali lagi, menyumbang waktu itu terkesan sederhana. Tapi, kalau diberi nilai secara keseluruhan, sangatlah dahsyat. Pereira menjelaskan hal itu lewat perhitungan uang.
Dalam setahun, jelas dia, 1,5 juta relawan tersebut menyumbangkan total 165 jam kerja. Andai mereka semua harus diberi bayaran minimal pemerintah WA, yaitu 9,09 dolar Australia sejam, nilai total gaji yang harus dibayarkan mencapai 1,5 miliar dolar Australia atau lebih dari Rp 11 triliun! Tentu saja, angka itu sangat meringankan beban biaya pengembangan olahraga.
''Tidak ada negara lain di dunia ini yang bisa menganggarkan dana untuk olahraga sebanyak itu,'' tegas Pereira.
***
Tentu saja, para relawan tidak dibiarkan bekerja tanpa balasan. Mereka diberi hadiah dengan cara berbeda. Karena terdaftar, mereka pun punya kartu khusus. Dan kartu itu punya banyak benefit untuk menikmati kegiatan-kegiatan olahraga.
Pereira memberi contoh sebuah gedung pertandingan yang berkapasitas 10 ribu penonton. Panitia tahu hanya bisa menjual 7.000 tiket. Maka, yang 3 ribu tiket yang mungkin tak terjual itu langsung ditawarkan kepada para relawan dengan diskon khusus (mungkin separo harga).
Kalau pertandingannya seru dan 10 ribu tiket itu pasti habis, para relawan bakal mendapat tawaran harga sama. Bedanya, mereka langsung mendapat tempat duduk lebih baik. Atau, mereka dapat harga sama tapi diberi jalur khusus, sehingga tak perlu ikut antrean panjang.
Sekali setahun, para relawan juga diundang untuk acara makan khusus. Mereka diperlakukan secara istimewa, dilayani oleh orang-orang top. Mulai pejabat pemerintah, selebriti seperti penyiar televisi, bahkan perdana menteri.
Punya 1,5 juta volunteer bukan berarti mereka bisa menyumbangkan tenaga semaunya. Pereira menjelaskan, karena mereka terdaftar, departemen olahraga dan rekreasi tinggal mengirimkan surat atau informasi untuk memberi tugas kepada para relawan tersebut. Kapan dan di mana serta bisa berbuat apa.
***
Soal sumbang-menyumbang waktu dan tenaga itu membuat saya (benar-benar sebagai pribadi) jadi garuk-garuk kepala ingat negeri sendiri. Saya sering lihat mahasiswa kita (mereka menunjukkan itu dengan mengenakan jaket almamater, apalagi kalau dari kampus top) berdiri di pinggir jalan atau perempatan jalan sambil membawa kotak sumbangan.
Para mahasiswa tersebut lantas meminta-minta donasi kepada para pengendara jalan, untuk disumbangkan kepada mereka yang ''membutuhkan''.
Begitu melihat mereka, saya langsung garuk-garuk kepala. ''Hebat ya, mahasiswa kita hanya bisa jadi pengemis. Padahal, mereka itu datang dari kampus ternama. Apa kampusnya tidak malu ya? Punya mahasiswa yang hanya punya ide untuk jadi pengemis ketika berniat mengumpulkan sumbangan?'' begitu pikir saya.
Kalau tidak punya uang dan ingin membantu mereka yang membutuhkan, mengapa harus mengemis? Mengapa tidak menyumbangkan tenaga dalam arti yang sebenarnya? Misalnya, melakukan cuci mobil gratis di jalan-jalan yang kosong. Orang yang punya mobil lantas happy, dan menyumbangkan uangnya. Uang itu lantas diberikan kepada yang membutuhkan.
Bagi saya, itu yang namanya ''menyumbangkan tenaga''. Kalau hanya berdiri di pinggir jalan membawa kotak sumbangan, bagi saya itu bukan ''menyumbangkan tenaga''.
***
Kembali ke Perth dan Australia.
Partisipasi merupakan salah satu modal dasar utama untuk mengembangkan olahraga. Semakin banyak yang mencoba dan berpartisipasi, semakin besar peluang menemukan atlet hebat. Makanya, meski hanya punya 20 juta penduduk, Australia punya banyak sekali atlet kelas dunia.
''Di antara 87 persen partisipan itu, banyak yang menekuni olahraga secara serius. Dari situlah kita bisa menjaring 0,01 persen warga yang kemudian menjadi atlet nasional,'' jelas Pereira.
Di Australia, ''memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat'' bukan sekadar jargon pemerintah...
Ini belum bicara soal infrastruktur, organisasi, dan -yang paling sulit untuk ditiru dan dikejar- sports science. (bersambung)
sumber :
http://www.jawapos.com/metropolis/index.php?act=detail&nid=30280