Jogja Antique

Wednesday, January 12, 2011

mama ... kataku lirih

Beberapa saat lagi peringatan 1 tahun meninggalnya ibuku, berbagai kenangan muncul kembali ke dalam otak, pikiran dan setiap hal yang kulakukan. Ya karena pengalaman bersama ibuku sangat mendalam terutama di saat-saat terahir ibu gerah dan kemudian meninggal dunia. Saat-saat terakhir itu bukan etungan hari atau bulan, tapi tahun. Mungkin 2 sd 4 tahun terakhir aku menemaninya, bahkan aku keluar kerja khusus untuk merawat ibu di rumah ketika beliau tidak bisa bangun dari tempat tidur, sementara ayahku kerja, adikku masih sibuk dengan kuliahnya.

Pagi itu semua sudah siap menunggu. Ibu akan dioperasi. berbagai persiapan dan observasi dilakukan oleh medis selama 1 minggu, dan pagi itu adalah jadwal untuk operasi ibu. Semua keluarga berkumpul, semua keluarga berdoa, semua sudah siap mental menghadapi momen penting ini. Pilihannya hanya 2, operasi berarti ginjal ibu bisa diselamatkan, klo dibiarkan maka ada kemungkinan ibu kena gagal ginjal. Pilihan yang sulit namun tetap harus memilih.

Tentu untuk seorang ibu, biaya berapapun akan dicari, akan diusahakan dengan keringat dan titik darah penghabisan, bagiku ibu adalah semuanya, segalanya. Gak ada pertimbangan lain kecuali aku masih pengen ditunggui ibu lebih lama. Namun tiba-tiba semua berubah. Dokter datang ke bangsal dan menjelaskan bahwa ibu tidak bisa dioperasi karena ada komplikasi. Bila dipaksakan operasi, justru ibu bisa meninggal lebih cepat, tidak ada hubungan dengan penyakitnya namun dengan komplikasinya.

Semua kacau, keluarga bingung, namun ibu hanya tersenyum. Ibu yang sering kupanggil mamah berkata lirih, " aku nurut suami dan anakku saja, klo mau tetap operasi ibu siap menjalani. namun klo keluarga menginginkan tidak operasi, ibu juga siap". Sambil berkata-kata itu ibu tersenyum. Tidak menampakkan kepanikan atau kesakitan. Padahal aku tau, ibu panik dan menahan sakit yang sangat.

Ayahkan sebagai suami seakan putus asa, sambil sedikit terisak mengumpulkan anak-anaknya. Bapak mulai nampak kosong, bingung dan seperti tidak tahu yang harus dilakukan. Dengan suara tersendat dan masih terisak menahan tangis, mulai membuka pembicaraan. Yang intinya mau milih yang mana, operasi atau tidak. Semua pilihan resikonya berat. Adik-adikku yang notabene perempuan semua hanya menangis. Tak ada suara usulan atau memberikan pilihan. Aku ambil suara. Operasi batal, ibu dibawa pulang. Bertahan dengan obat yang ada sambil berpikir jernih. Aku tidak mau ibu yang saat ini masih hidup, bisa komunikasi tiba-tiba pulang dengan peti mati.

Aku masih ingin ditunggui ibu, aku masih ingin diberi nasehat-nasehat oleh ibu. Aku masih ingin menjaga ibu, aku masih ingin merawatnya. Masih ada satu hal yang ibu inginkan. Aku menikah dan ibu momong cucu. Saat itu lah aku berpikir bahwa selama ini aku hanya memikirkan diriku sendiri. Aku tidak berpikir bahwa ibu sudah menginginkan cucu. Itu cerita 7 tahun lalu, saat ibu mulai bergelut dengan sakitnya hingga akhirnya meninggal 1 tahun yang lalu...

Aku hanya ingin berkata, " mamah... kata lirihmu dengan senyuman itu memberikan kita semua kekuatan, saat engkau menahan sakit, saat engkau panik menghadapi maut, kau berikan kesejukan dan ketenangan untuk kita semua.... selamat jalan ibu, semoga engkau bahagia di Surga. Amien".

Semarang, 13 Januari 2011
Anakmu....
Yang paling kau sayang dan kau banggakan

BERITA KOMPAS