Berbagai cerita tentang ulah pak polisi yang tidak simpatik sering kita dengar. Walaupun pada masa kepemimpinan Pak Kunarto sudah didengungkan sebuah slogan dari polisi indonesia : "Tekadku, Pengabdianku" namun sampai saat ini perubahan paradigma tentang perilaku pak polisi masih terkesan miring. Kupikir tidak adil klo ulah segelintir oknum polisi kita generalisasi sebagai institusi kepolisian yang berbuat miring, namun memang sulit untuk menerimanya.
Beberapa waktu lalu seperti biasa aku masuk kerja melewati perempatan lampu merah yang setiap hari kulewati. Sehingga saking terbiasanya aku tidak melihat lampu merah lagi, karena yang biasanya adalah belok kiri jalan terus maka yang kuperhatikan bukan lampunya tapi pengendara lain atau penyeberang jalan yang mau lewat. Artinya aku lebih konsentrasi pada keselamatan pemakai jalan lain dan juga diriku sendiri daripada memperhatikan lampu merah.
Tiba-tiba prit pritt.... aku menengok ke polisi yang jaga. dia menunjukku sambil nyemprit lagi. Aku langsung tancap gas dan menggeber motor sekencang-kencangnya untuk lari, kupikir daripada uang 20ribu melayang tanpa usaha perlawanan mending lari dulu. Sejujurnya saat itu aku gak tau, kenapa pak polisi menyemprit aku, karena hari kemaren aku juga lewat situ kekiri jalan terus. Singkat cerita pelarianku tidak terkejar. Tapi aku penasaran, sehingga pulang kerja aku lewat situ lagi dan kuperhatikan lampu merahnya. Ternyata memang yang semula lampu merahnya bundar utuh, menjadi berbentuk panah kekiri ( sepertinya ditutup dengan semacam spidol karena bentuknya gak mulus). Sehingga artinya berubah menjadi belok kiri ikuti lampu.
Aku gak penasaran lagi, ternyata pak polisi menyemprit aku karena aku melanggar lampu. Okelah mungkin aku salah saat itu melanggar lampu merah, namun perlu digaris bawahi beberapa hal :
1. Lampu merah itu diganti aturanya dari belok kiri jalan terus menjadi belok kiri ikuti lampu, mestinya ada sosialisasi terlebih dahulu sehingga pak polisi menyemprit tidak untuk menghakimi tapi memberitahukan/memperingatkan secara simpatik, karena jelas-jelas belum ada sosialisasi sebelumnya atau tanda lain semacam tulisan yang dipasang disitu.
2. Dugaan saya pak polisi menghakimi mungkin saja salah, karena aku lari dan tidak terkejar, namun keesokan harinya aku sengaja memperhatikan di lampu merah tersebut dengan berhenti agak jauh. Dan benar saja, ketika ada bapak tua ( sepertinya pns yang berumur 50an belok kiri jalan terus, langsung kena tilang. Aku yakin bapak itu juga karena saking biasanya lewat sehingga dia tetap belok dengan sangat pelan-pelan untuk keselamatan pengendara lain.
3. Kita kadang-kadang terpaksa menggugat dalam hati, sebenarnya aturan itu diterapkan untuk apa? untuk dilaksanakan dengan tujuan penilangan atau untuk ketertiban allu lintas dengan tujuan keselamatan pemakai jalan? Mungkin Hal ketiga ini perlu dipikirkan kembali oleh bapak-bapak oknum polisi, kemudian diresapi dalam hati sehingga tidak memberi kesan miring. Aku yakin kalo menertibkan pemakai jalan secara simpatik pak polisi akan mendapatkan dukungan masyarakat luas dan paradigma lama bisa berubah menjadi paradigma baru yaitu tekadku pengabdian terbaik.
Semoga ada manfaatnya.
Ilustrasi gambar diambil dari jakartabutuhrevolusibudaya.com
Beberapa waktu lalu seperti biasa aku masuk kerja melewati perempatan lampu merah yang setiap hari kulewati. Sehingga saking terbiasanya aku tidak melihat lampu merah lagi, karena yang biasanya adalah belok kiri jalan terus maka yang kuperhatikan bukan lampunya tapi pengendara lain atau penyeberang jalan yang mau lewat. Artinya aku lebih konsentrasi pada keselamatan pemakai jalan lain dan juga diriku sendiri daripada memperhatikan lampu merah.
Tiba-tiba prit pritt.... aku menengok ke polisi yang jaga. dia menunjukku sambil nyemprit lagi. Aku langsung tancap gas dan menggeber motor sekencang-kencangnya untuk lari, kupikir daripada uang 20ribu melayang tanpa usaha perlawanan mending lari dulu. Sejujurnya saat itu aku gak tau, kenapa pak polisi menyemprit aku, karena hari kemaren aku juga lewat situ kekiri jalan terus. Singkat cerita pelarianku tidak terkejar. Tapi aku penasaran, sehingga pulang kerja aku lewat situ lagi dan kuperhatikan lampu merahnya. Ternyata memang yang semula lampu merahnya bundar utuh, menjadi berbentuk panah kekiri ( sepertinya ditutup dengan semacam spidol karena bentuknya gak mulus). Sehingga artinya berubah menjadi belok kiri ikuti lampu.
Aku gak penasaran lagi, ternyata pak polisi menyemprit aku karena aku melanggar lampu. Okelah mungkin aku salah saat itu melanggar lampu merah, namun perlu digaris bawahi beberapa hal :
1. Lampu merah itu diganti aturanya dari belok kiri jalan terus menjadi belok kiri ikuti lampu, mestinya ada sosialisasi terlebih dahulu sehingga pak polisi menyemprit tidak untuk menghakimi tapi memberitahukan/memperingatkan secara simpatik, karena jelas-jelas belum ada sosialisasi sebelumnya atau tanda lain semacam tulisan yang dipasang disitu.
2. Dugaan saya pak polisi menghakimi mungkin saja salah, karena aku lari dan tidak terkejar, namun keesokan harinya aku sengaja memperhatikan di lampu merah tersebut dengan berhenti agak jauh. Dan benar saja, ketika ada bapak tua ( sepertinya pns yang berumur 50an belok kiri jalan terus, langsung kena tilang. Aku yakin bapak itu juga karena saking biasanya lewat sehingga dia tetap belok dengan sangat pelan-pelan untuk keselamatan pengendara lain.
3. Kita kadang-kadang terpaksa menggugat dalam hati, sebenarnya aturan itu diterapkan untuk apa? untuk dilaksanakan dengan tujuan penilangan atau untuk ketertiban allu lintas dengan tujuan keselamatan pemakai jalan? Mungkin Hal ketiga ini perlu dipikirkan kembali oleh bapak-bapak oknum polisi, kemudian diresapi dalam hati sehingga tidak memberi kesan miring. Aku yakin kalo menertibkan pemakai jalan secara simpatik pak polisi akan mendapatkan dukungan masyarakat luas dan paradigma lama bisa berubah menjadi paradigma baru yaitu tekadku pengabdian terbaik.
Semoga ada manfaatnya.
Ilustrasi gambar diambil dari jakartabutuhrevolusibudaya.com