Bocah itu baru berusia 11 tahun, cita-citanya menjadi polisi. Setelah sempat bersekolah 3 tahun, menjelang akhir hayatnya terpaksa tidak bisa sekolah, karena Ibunya tidak bisa membiayai. Akhirnya Bocah ini bunuh diri secara tragis.
Cut Sariya terus meneteskan air mata, menyesali kemiskinannya yang menyebabkan tidak bisa menyekolahkan anaknya yang kemudian diketahui sebagai Basir. Penyesalan yang pasti tak ada ujung, dan akan selalu menghantuin hidupnya.
Apakah ini potret masyarakat miskin, yang katanya bisa sekolah gratis namun masih dibebani pungutan dengan embel-embel uang seragam? uang buku? uang gedung? dan seterusnya? Bagaimana aturan main sesungguhnya tentang pungutan-pungutan itu? lalu yang gratis apanya?
Semoga tidak ada Basir Basir lain yang akan semakin menambah deras air mata seorang Cut Sariya dan Mungkin juga Ibu-Ibu yang lain. Dan semoga dengan kejadian ini, ada perhatian yang lebih dari departemen atau dinas terkait di Kampung Basir tinggal dan juga kampung-kampung lain di Indonesia. Amien
Friday, July 16, 2010
Tangisan Cut Sariya Untuk Basir
3:23 PM
Karis As A Trader