Jalan terjal menuju curug sudah terbayang di didepan mata. Cuaca masih cerah saat aku mulai menyusuri jalan desa, namun cuaca berubah sedikit gelap ketika mulai memasuki jalan setapak. Tak ada tanda-tanda bahwa didepanku banyak orang yang sudah naik ke curug karena jalan berbatu itu sulit untuk mengenali jejak kaki yang masih baru.
Beberapa petunjuk arah cukup membantu kelancaran perjalananku. Namun dibererapa belokan jalan setapak belum ada petunjuk arah sama sekali sehingga kadang harus bergerak ke semua kemungkinan arah yang ada untuk melihat jejak jekak kaki yang ada.
Beberapa pohon tumbang menghalangi jalanku, ada yang mudah untuk dilalui namun ada juga yang membuat bingung, karena pohon tumbang melintang di sungai dan menutup akses jalan setapak. Ibarat bermain seperti pramuka diwaktu sekolah lagi untuk dapat menembus rintangan dengan jalan merunduk, merayap, bergantung di pohon dan juga melompat dan meloncat.
Jembatan kayu yang digunakan untuk menyeberang sungai sebagian sudah lapuk dan sangat licin, sehingga aku harus super hati-hati untuk meniti jembatan itu menuju seberang sungai. Kupikir jembatan kayu ini lebih baik daripada harus masuk ke dalam sungai.
Beberapa saat menjelang curug aku bertemu dengan sepasang muda -mudi yang sudah turun dari curug. Aku sempat berbincang dan bertanya apakah destinasi masih jauh atau sudah mendekati. Muda - mudi itu menjawab bahwa tinggal 3 kali tanjakan lagi sudah sampai di curug benowo.